Kloning
merupakan salah satu bioteknologi mutakhir
yang sangat bermanfaat untuk memultiplikasi genotip hewan yang memiliki
keunggulan tertentu dan preservasi hewan yang hampir punah. Walaupun
keberhasilan produksi hewan kloning
lewat transfer inti sel somatik telah dicapai pada berbagai spesies,
seperti Domba, Sapi, Mencit, Kambing, Babi, Kucing, dan Kelinci, efisiensinya
sampai sekarang masih sangat rendah yaitu kurang dari 1%, dengan sekitar 10%
yang lahir hidup (Han et al., 2003).
Transfer
inti melibatkan suatu seri prosedur yang kompleks termasuk kultur sel donor,
maturasi oosit in vitro, enukleasi,
injeksi sel atau inti, fusi, aktivasi, kultur in vitro reconstructed embryo,
dan transfer embrio. Jika salah satu
dari tahap-tahap ini kurang optimal, produksi embrio atau hewan kloning dapat terpengaruh.
Sejarah
tentang hewan kloning telah muncul sejak awal tahun 1900, tetapi contoh hewan kloning baru dapat dihasilkan
lewat penelitian Wilmut et al. (1997), dan untuk pertama kali membuktikan bahwa kloning dapat
dilakukan pada hewan mamalia dewasa. Hewan kloning tersebut dihasilkan dari
inti sel epitel ambing Domba dewasa yang dikultur dalam suatu medium, kemudian ditransfer ke
dalam ovum Domba yang kromosomnya telah
dikeluarkan, yang pada akhirnya menghasilkan anak Domba kloning yang
diberi nama Dolly.
Kloning Domba
pertama sebenarnya telah dilaporkan oleh Willadson (1986) yang menggunakan
blastomer-blastomer embrio sebagai donor inti. Dan hal inilah yang menjadi precursor
bagi kegiatan-kegiatan transplantasi inti hewan-hewan domestik termasuk Domba
Dolly.
Produksi Domba
identik oleh Willadson (1986) mencetuskan berbagai perbaikan dalam
teknik-teknik kloning pada berbagai spesies hewan. Hewan- hewan kloning yang
dihasilkan dari transplantasi inti sel somatik telah dilaporkan pada Mencit, Sapi,
Kambing, Domba, dan Babi (Wakayama et al., 1998; Kato et al., 1998; Keefer et
al., 2000; Wilmut et al., 1997; Polejaeva et al., 2000).
Penelitian-penelitian
yang melibatkan spesies-spesies lain
terus dilakukan, dan dari informasi yang dihimpun menunjukkan bahwa
berbagai spesies hewan dapat dikloning lewat transplantasi inti. Walaupun hewan
kloning yang dihasilkan lewat transplantasi inti sangat tidak efisien, fakta
bahwa hewan kloning dari berbagai spesies telah diproduksi oleh sejumlah
laboratorium menunjukkan begitu besarnya keinginan untuk memproduksi atau
mengkloning hewan dengan genotip-genotip spesifik.
Disamping itu,
ada juga permintaan untuk mengkloning hewan-hewan yang bergenetik unggul;
sedangkan keinginan untuk mereplikasi genotip spesifik dari hewan-hewan
kesayangan masih bersifat individual. Spesies hewan lainnya yang menjadi target
kloning adalah hewan hewan yang sudah hampir
punah, hewan steril, infertile, ataupun hewan mati.
Keberhasilan Kloning pada
Berbagai Spesies Hewan
Salah
satu faktor yang
mempengaruhi keberhasilan kloning adalah spesies. Walaupun pendekatan dasar
transplantasi inti pada dasarnya sama, tetapi material-material spesifik dan
metode yang digunakan untuk kloning satu spesies hewan tidak secara otomatis
berlaku pada spesies lain. kloning hewan lewat transplantasi inti melibatkan
beberapa tahap penting termasuk: 1) penyediaan ovum yang sudah matang, 2)
pengeluaran kromosom yang terdapat dalam
ovum (enucleation), 3) transfer inti sel hewan yang dikloning ke dalam ovum
enuklease, 4) aktivasi embrio yang baru terbentuk sehingga menginisiasi
perkembangan embrionik, 5) kultur embrio in vitro, dan 6) transfer embrio yang
dikloning ke induk resipien. Teknik-teknik yang diperlukan untuk menyempurnakan
tahapan-tahapan ini agak berbeda antara spesies dan juga efesiensi setiap tahap
bervariasi antara spesies hewan.
Kloning pada Sapi
Jumlah
laboratorium yang bekerja pada kloning embrio Sapi di seluruh dunia lebih banyak
dibandingkan dengan pada spesies lainnya. Keberhasilan sejumlah
laboratorium untuk mengkloning Sapi disebabkan
karena banyaknya program penelitian yang difokuskan pada transfer inti Sapi.
Maturasi oosit in vitro, fertilisasi in vitro, dan kultur embrio in vitro,
telah terlaksana dengan baik pada ternak Sapi, dan setiap kegiatan tersebut
merupakan tahapan penting dalam proses kloning. Dengan adanya berbagai tahapan
kegiatan tersebut menyebabkan sejumlah besar oosit dari rumah potong hewan
dapat diakses untuk digunakan dalam penelitian dengan biaya yang relatif
rendah. Dan dengan demikian, memberikan cukup percobaan dan cukup embrio yang
ditransfer untuk memproduksi kloning pada ternak Sapi.
Bervariasinya
efisiensi kloning Sapi lewat transplantasi inti mungkin disebabkan oleh
terbatasnya jumlah eksperimen yang terkontrol, sehingga sulit untuk menentukan
penyebab dari variasi yang timbul dan analisis interaksi antara variabel sulit
ditentukan. Beberapa penyebab variasi yang mungkin mempengaruhi keberhasilan
transplantasi inti adalah genotip, tipe sel donor inti yang digunakan,
perlakuan sel donor sebelum transfer inti, sumber ova resipien, teknik-teknik
yang dikerjakan, dan laboratorium yang melaksanakan pekerjaan tersebut.
Persentase embrio transfer inti yang berkembang menjadi stadium kompak morula
atau blastosis sangat bervariasi yakni berkisar antara 5% hingga > 65%.
Tingkat kelahiran hidup per embrio yang ditransfer juga sangat bervariasi yakni
berkisar antara 0% hingga 83%, sedangkan tingkat kematian anak berkisar antara
0% - 100% yang terjadi pada minggu pertama setelah lahir (Hill et al., 2000;
Wells et al., 1998; Kubota et al., 2000).
Kloning
pada ternak Sapi juga telah dilakukan oleh Westhusin et al. (2001) dengan
menggunakan seekor Sapi Brahman jantan yang bernama Chance, yang berumur
sekitar 21 tahun. Fibroblast diambil dari biopsy kulit, dikultur dengan metode
standar kultur jaringan, kemudian dibekukan dan disimpan dalam nitrogen cair.
Ketika transfer inti dilakukan dengan
menggunakan sel-sel fibroblast Chance, 28 % dari untaian fusi (53 dari 190)
yang dikultur, berkembang menjadi blastosis. 26 blastosis ditransfer ke 11 ekor
Sapi betina resipien dan menghasilkan 6 kehamilan , 3 diantaranya mengalami kematian embrio pada
hari ke-90 kehamilan dan hanya 1 ekor
yang lahir hidup dan telah bertumbuh menjadi Sapi dewasa. Yang menjadi catatan
penting bahwa selama minggu pertama setelah lahir, anak Sapi tersebut
memerlukan monitoring dan terapi yang intensif untuk mengobati lung dysmaturity dan pulmonary hypertension, termasuk pemberian
type 1 insulin-dependent diabetes.
Percobaan kedua dan ketiga menggunakan fibroblast dari biopsy
kulit dua ekor Sapi betina berumur sedang, satu ekor Sapi Brangus dan satu ekor
Sapi Charolais yang diseleksi berdasarkan performans terbaik. Setelah transfer
inti dan kultur, jumlah embrio yang berkembang hingga stadium blastosis adalah
16%. 37 blastosis Charolais ditransfer ke 13 resipien. Lewat pemeriksaan kehamilan
pada hari ke-30 ternyata 6 diantaranya
dinyatakan bunting, tetapi hanya 4 ekor yang dapat mempertahankan kehamilan nya
hingga hari ke-60. Dari keempat ekor induk Sapi tersebut, salah satu
diantaranya mengalami keguguran, dua ekor digunakan untuk tujuan penelitian
(fetusnya dikeluarkan) dan satu ekor menghasilkan anak betina kembar dua yang
kemudian keduanya mati setelah berumur 7 sampai 10 hari. 43 blastosis yang
berasal dari Sapi Brangus ditransfer ke 14 resipien dan menghasilkan 3 kehamilan
, tetapi tidak ada yang bertahan hidup melewati hari ke-90 kehamilan (Westhusin et al., 2001).
Pada percobaan lain, Feng et al. (1996)
menggunakan fibroblast Sapi Black Angus jantan yang secara genetik resistant terhadap Brucellosis.
Sapi tersebut mati dan tidak ada semen
beku yang tersedia untuk menghasilkan keturunan baru. Dari pasangan oosit-
fibroblast yang berdifusi dan dikultur, 44% berkembang menjadi blastosis. 39
blastosis ditransfer ke 20 resipien dan
menghasilkan 10 kehamilan ketika
dilakukan pemeriksaan pada hari ke-35, dua diantaranya bertahan hingga hari
ke-130 dan ke-250 kehamilan.
Kloning pada Domba
Walaupun
mamalia pertama yang dikloning dari sel-sel somatik adalah Domba, namun setelah
itu tidak ada Domba lagi yang dilaporkan sebagai hasil transfer inti
menggunakan inti sel somatik Domba dewasa. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena banyak peneliti yang lebih tertarik
untuk memproduksi hewan transgenic dan lebih suka menggunakan sel-sel fetus
dibandingkan sel-sel somatik hewan dewasa. Teknik yang digunakan untuk
mengkloning Domba adalah sama dengan yang dilaporkan pada Sapi, tetapi dengan
suatu pengecualian yakni kebanyakan peneliti Domba telah menggunakan oosit yang
matang in vivo. Efisiensi kloning Domba sama dengan Sapi dalam hal produksi
embrio kloning dan tingkat kelahiran hidup (Campbell et al., 1996). Masalah
lain yang timbul pada kloning Domba adalah terjadinya keguguran fetus selama kehamilan
dan abnormalitas anak yang dilahirkan
cukup tinggi.
Kloning pada Domba |
Kloning Pada Kambing
Kambing
Kloning telah dihasilkan dengan menggunakan sel-sel somatik hewan dewasa dan
sel-sel fetus sebagai donor inti untuk
transplantasi ke dalam ovum enuklease (Baguisi
et al., 1999). Seperti pada Domba, kebanyakan peneliti telah menggunakan
sel-sel fetus untuk memproduksi keturunan transgenic. Teknik kloning Kambing sama dengan yang
digunakan pada Domba dan Sapi, dimana ovum resipien diperoleh dari oosit yang
dimatangkan secara in vitro dan in vivo. Setelah dikultur selama satu hingga
dua hari, embrio ditransfer ke betina resipien pada stadium 2 - 4 sel. Walaupun
tingkat kelahiran hidup sama dengan Sapi dan Domba, tetapi tingkat abnormalitas
dan kematian baik pada fetus mapun anak yang lahir tidak sama.
Kloning pada Mencit
Awalnya,
kloning Mencit terlihat lebih sulit dilaksanakan dibandingkan dengan Sapi, Domba
dan Kambing, dengan tingkat kelahiran hidup hanya sekitar satu persen. dari
embrio yang ditransfer dapat lahir hidup (Ogura et al., 2000). Penyebab
rendahnya tingkat kelahiran tersebut belum diketahui secara jelas, apakah karena pengaruh spesies, teknik yang
dikerjakan atau hal lainnya belum jelas. Teknik transfer inti yang umum
dikerjakan pada spesies lain meliputi electrofusi ovum resipien dengan inti sel
donor.
Mencit kloning pertama dihasilkan lewat injeksi langsung inti sel.
Metode injeksi langsung telah secara kontinyu digunakan sebagai metode yang
umum untuk penelitian pada Mencit. Metode terbaru yang lebih efisien untuk
kloning Mencit telah dilakukan oleh Baguisi dan overstrom (2000) dengan
menggunakan metode enuclease kimiawi yang dikombinasikan dengan injeksi
langsung inti donor untuk menghasilkan anak yang hidup. Metode-metode baru ini
memerlukan percobaan tambahan pada spesies lain untuk menentukan
efektivitasnya.
Kloning pada Babi
Seperti
pada Mencit, produksi Babi kloning sangat sulit dan tidak efisien dengan dengan
daya hidup embrio yang ditransfer hanya sekitar satu persen. Dalam tulisan ini,
ada dua percobaan kloning Babi yang
telah menghasilkan anak yang hidup. Pada laporan pertama oleh Polejaeva et al. (2000),
kegiatan transfer inti pertama dilaksanakan dengan mengoleksi ovum yang matang
in vivo dan dileburkan dengan sel-sel granulosa yang matang untuk menghasilkan
embrio transfer inti.
Hari berikutnya, kegitan transfer inti kedua dilakukan
dengan menggantikan dua pronukleus yang ada dalam zygot hasil fertilisasi normal dengan
pseudo-pronuclei yang diambil dari embrio hasil transfer inti. Embrio
kemudian ditransfer ke betina resipien dalam dua jam setelah pelaksanaan
transfer inti yang kedua. Sebanyak 401 embrio transfer inti ganda ditransfer ke
tujuh resipien, dan 185 embrio transfer inti tunggal ditransfer ke tiga
resipien.
Dari hasil percobaan ini menunjukkan bahwa hanya satu resipien yang
mendapat transplantasi inti menjadi bunting dan melahirkan 5 ekor anak. Pada
laporan kedua oleh Onishi et al. (2000), inti fibroblast fetus diinjeksi ke
dalam oosit matang in vivo, kemudian
embrio yang dihasilkan ditransfer ke dalam oviduct betina resipien setelah
kultur jangka pendek. Hanya
satu ekor anak Babi betina yang lahir dari hasil transfer 110 embrio kloning ke
empat betina resipien.
Kloning pada Spesies Lain
Walaupun produksi
hewan kloning lewat transfer inti sel-sel somatik telah dilaporkan pada
beberapa spesies terdahulu, masih ada sejumlah spesies lain yang dikloning dan
masih terus diteliti. Spesies-spesies
tersebut termasuk Kucing, Anjing, Kuda, Kelinci, Tikus, dan beberapa hewan buas.
Di antara hewan-hewan tersebut, kloning Anjing menjadi fokus penelitian dari
salah satu laboratorium di Texas. Anjing merupakan hewan yang unik dan
menantang untuk diteliti karena banyak mekanisme yang mengontrol reproduksi
belum dimengerti dengan baik.
Teknik-teknik
reproduksi yang repeatable dan efisien pada Anjing seperti teknik superovulasi,
sinkronisasi estrus, produksi embrio in vitro, belum biasa dilaksanakan. Salah
satu penghambat kemajuan kloning Anjing adalah terbatasnya persediaan ovum yang
matang untuk digunakan sebagai resipien transfer inti. Disisi lain, upaya
mengembangkan metode yang repeatable
untuk menghasilkan oosit yang dimatangkan in vitro yang dikoleksi dari Anjing
anestrus memiliki tingkat keberhasilan yang sangat rendah. Oleh karena itu, seperti pada Babi, mereka
berupaya menggunakan ovum yang matang in vivo.
Untuk memperoleh
ovum yang matang in vivo, serangkain kegiatan dilaksanakan, yang dimulai dengan
menentukan saat ovulasi pada Anjing lewat observasi visual untuk mendeteksi
proestrus dan vaginal cytology untuk
mendeteksi estrus, pengukuran kadar luteonizing hormone (LH) serum untuk
mendeteksi LH surge, dan uji progesterone untuk mengkonfirmasi validitas LH surge. Setelah ovulasi, ovum dikoleksi dengan
teknik pembedahan dengan memflushing oviduct dengan medium koleksi embrio (TL
Hepes solution).
Ovum yang berada
pada metaphase II yang ditandai oleh adanya polarbody diseleksi dan digunakan
untuk transfer inti. Dari 17 koleksi diperoleh 109 oosit (6,4 per donor) tetapi
hanya 63 (3,7 per donor) yang memiliki kualitas yang layak untuk transfer inti.
dari oosit tersebut dienuclease dan 43 berhasil berdifusi dengan inti sel Anjing
dewasa. Setelah electrofuse, ovum Anjing diaktifkan dengan menempatkannya ke
dalam medium fusi yang ada dalam electrofusion chamber dan kemudian menggunakan
electrical pulse seperti yang digambarklan oleh Kato et al. (1998).
Selanjutnya
diinkubasi selama lima jam dalam 10 µg/ml
cycloheximide (Sigma) dan 5 µg/ml
cytochalasin B (Sigma). Pasangan fusi kemudian dicuci tiga kali dan
ditempatkan dalam system co-cultur
B2-vero cell monolayer selama dua sampai tiga hari dalam 5% CO2 pada suhu 39C.
Jumlah embrio yang membelah adalah 10 embrio, lima diantaranya ditransfer ke
tiga ekor Anjing betina resipien tetapi tidak ada yang berhasil bunting (Westhusin
et al., 2000).
Variasi Efisiensi Kloning: Efek Tipe Sel Donor Inti
Spesies
hanyalah merupakan salah satu varibel yang mempengaruhi tingkat keberhasilan
kloning untuk mereproduksi genotip yang
spesifik. Variable lainnya yang
berpengaruh adalah tipe sel donor yang digunakan untuk nuclear tranfer.
Dalam kasus dimana hewan dewasa dijadikan target untuk kloning, sel-sel yang
tersedia untuk digunakan sebagai donor inti mungkin terbatas. Sebagai contoh,
sel-sel granulosa dapat dengan mudah dihasilkan dari Sapi betina lewat aspirasi
folikel dengan bantuan alat ultrasound; sebaliknya, untuk menghasilkan sel-sel
granulosa dari Kucing atau Anjing memerlukan lebih banyak prosedur invasive.
Bagaimanapun,
penggunaan tipe-tipe sel tertentu (sel granulosa, sel cumulus, sel uterus, dan
sel oviduct) dari Kucing dan Anjing
mungkin tidak tersedia kalau hewan tersebut sudah mandul. Banyak tipe sel yang telah digunakan sebagai
donor untuk transfer inti. Oleh karena kurangnya eksperimen yang terkontrol dan
terdapat banyak variable yang mempengaruhi efisiensi kloning, maka pengaruh
tipe sel menjadi tidak jelas. Walaupun demikian, ada suatu indikasi bahwa tipe
sel dan stadium siklus sel donor pada saat transfer inti (metaphase terhenti
atau bersamaan dengan aktivasi ooplasma) dapat mempengaruhi efisiensi kloning,
dengan stadium G0/G1 menjadi stadium terbaik.
Sel Donor Embrio
Blastomer
embrio merupakan tipe sel pertama yang digunakan untuk memproduksi anak hasil
transfer inti pada mamalia. Wiladson (1986) melaporkan produksi anak Domba
hasil transfer inti dari embrio stadium 8 - 16 sel ke dalam ovum resipien
enuclease. Setelah percobaan tersebut, banyak eksperimen yang diadakan dengan
menduplikasi prosedur fusi blastomer ke oosit atau zygot enuklease pada Sapi, Kambing,
Babi, Kelinci dan Mencit. Setelah blastomer berdifusi dengan sitoplasma, inti
sel yang akan ditransfer direprogramkan secara efektif untuk menghasilkan
tingkat produksi embrio yang tinggi. Dari embrio-embrio yang ditransfer, diperoleh angka kehamilan
sekitar 25% - 35%.
Tidak
seperti kloning dengan sel-sel somatik (fetus atau hewan dewasa), sebagian
besar dari kehamilan tersebut dapat
dipertahankan. Selain memiliki ukuran
tubuh yang lebih besar pada saat lahir, anak hasil kloning yang dihasilkan dari blastomer embrio
(sebagai donor inti) memiliki tingkat kematian dan abnormalitas yang rendah.
Salah satu kelemahan dari penggunaan embrio sebagai donor inti adalah
terbatasnya jumlah sel yang tersedia untuk kloning, dengan mengurangi kemungkinan untuk
menghasilkan anak kloning dalam jumlah besar per genotip.
Walaupun
blastomer-blastomer embrio telah secara
sukses menghasilkan kelahiran hidup, penggunaan inner cell mass (ICM) dan
tropektoderm sebagai donor inti terlihat kurang efisien. Fusi atau injeksi ICM
ke dalam oosit enuklease hanya menghasilkan 5 sampai 7 % blastosis yang
terbentuk dan setelah transfer ke betina resipien hanya kurang dari 1% yang
lahir hidup (Keefer et al., 1994). ICM dan tropektoderm juga telah digunakan
sebagai donor inti dalam eksperimen kloning Mencit. Penggunaan sel-sel ICM dan
tropektoderm mengindikasikan bahwa sitoplasma enuclease mampu mereprogramkan
sel-sel yang sudah berdiferensiasi.
Bagaimanapun,
tipe sel-sel ini masih memberikan kegunaan yang terbatas sebagai suatu metode
untuk menghasilkan sejumlah besar anak kloning. Kultur stem cell dan primordial
germ cell embrio Mencit telah menimbulkan ide untuk menggunakan kedua tipe sel
tersebut sebagai sumber inti donor. Wakayama, et al. (1999) secara sukses
menggunakan dua stem cell embrio Mencit yang berbeda untuk memproduksi anak
kloning. Pada Mencit, hasil dengan stem cell embrio sama dengan eksperimen
sebelumnya menggunakan sel-sel somatik (masing-masing yakni 2,4% vs 1,2%).
Keberhasilan
penggunaan stem cell memungkinkan kultur jangka panjang dan modifikasi genotip
sebelum kloning. Kemajuan ini sangat besar, tetapi masih kurang efisien untuk
memproduksi anak kloning dalam jumlah besar.
Campbell et al. (1996) untuk pertama kali mempublikasikan laporan
pengunaan embryonic disc cell sebagai karyoplast dalam eksperimen transfer
inti. Tiga dari lima ekor
anak Domba yang lahir hidup mengalami kematian sesaat setelah lahir.
Wells et
al. (1997) secara efektif berhasil mengulangi eksperimen ini. Cell line dari embrio Domba dikultur
selama 6 - 18 passage. Setelah itu diikuti starvasi serum untuk mengaktifkan
sel-sel donor. 75
dari 386 embrio berkembang ke stadium blastosis in vitro, dan 2 dari 37
resipien (5%) menjadi bunting. Walaupun masih belum efisien, sel-sel embrio
yang dikultur ini mampu berkembang hingga periode fetus.
Sel Donor Somatik
Berbagai
tipe sel somatik yang telah digunakan sebagai donor untuk transfer inti telah
menghasilkan kelahiran hidup (Colman, 2000). Fibroblast fetus Sapi telah
digunakan sebagai donor inti secara luas disebabkan karena sel-sel ini dapat
bertumbuh dengan cepat dan sifatnya stabil dalam kultur. Sel-sel ini dapat dipanen dengan mudah dari fetus pada
umur kehamilan 40 - 60 hari. Di bawah
kondisi kultur standar, populasi sel dapat mencapai dua kali lipat setelah
dikultur selama 17 sampai 24 jam, bahkan dapat mencapai 60 kali lipat sebelum
mencapai senescence.
Sekitar
0,5 - 2% dari embrio hasil transfer inti fetal fibroblast Domba, Sapi, Kambing
dan Babi dapat berkembang hingga kelahiran hidup. Walaupun fetal fibroblast
memiliki jumlah penggandaan sel potensil yang terbatas dalam kultur in vitro,
kloning dari senescent fibroblast untuk menghasilkan fetus kloning menyebabkan
pembentukan kembali telomere.
Memang
kebanyakan tipe sel yang digunakan berasal dari hewan dewasa. Laporan pertama
kloning dari sel-sel dewasa melibatkan sel-sel epitel ambing yang berasal dari Domba
(Wilmut et al., 1997). Walapun, belum ada laporan lagi tentang penggunaan
berbagai tipe sel Domba dewasa, Sapi telah dihasilkan dari sel-sel ambing dalam
cara yang sama (Zakhartchenco et al., 1999).
Sel-sel
somatik dewasa dan berbagai tipe jaringan dari banyak spesies lain juga telah
digunakan untuk produksi anak kloning. Dermal fibroblast merupakan sumber yang paling umum digunakan sebagai sel donor.
Sel-sel ini mudah dipanen dari kedua jenis kelamin dan dikultur menggunakan
kondisi kultur jaringan standar. Setelah transfer inti, yang berkembang hingga
stadium blastosis berkisar antara 21 hingga 60% (Kubota, et a., 2000; Hill et
al., 2000).
Tingkat
pertumbuhan yang cenderung rendah dari fibroblast yang dimatangkan dalam
kultur, mayoritas dari se-sel tersebut berada pada fase G0/G1 dari siklus sel
pada saat diberikan. Dengan demikian kebutuhan untuk menginduksi quiescence
pada dermal fibroblast matang menjadi berkurang (Hill et al., 2000; Kato et
al., 1998). Setelah ditransfer ke betina resipien, embrio transfer inti dari
sel-sel dermal mampu berkembang menjadi
anak Sapi hidup.
Bagaimanapun,
tingkat perkembangan masih rendah yakni hanya 1 - 5% dari embrio yang dikultur
yang berhasil lahir dalam keadaan hidup. Sumber fibroblast lain juga telah
digunakan. Shiga et al. (1999), menggunakan fibroblast dari jaringan otot Sapi
sebagai karyoplast. Secara keseluruhan, sekitar 4% dari embrio transfer inti
dapat berkembang, dan 3 dari 4 anak Sapi yang lahir, mati sesaat setelah lahir.
Ogura et
al. (2000); Wakayama dan Yanagimachi (1999) menggunakan fibroblast dari ujung
ekor Mencit, dan setelah itu electofuse atau injeksi karyoplast-karyoplast ini
ke dalam enucleated oocytes. Hanya 1 - 2% embrio transfer inti yang berhasil
lahir. Sel-sel cumulus dan mural granulose juga telah digunakan secara luas
sebagai karyoplast untuk transfer inti pada Sapi, Mencit, Kambing dan Babi
(Wells et al., 1998; Kato et al., 1998; Wakayama et al., 1998; Keefer et al.,
2000; Polejaeva et al., 2000).
Wells et
al. (1998) telah memproduksi anak Sapi
kloning dengan menggunakan sel-sel quiescent mural granulose sebagai donor
nuclear. Sekitar 27.5% dari embrio yang dikultur berhasil berkembang menjadi
blastosis, dan hanya 10% dari blastosis tersebut yang lahir hidup setelah
transfer, atau sekitar 2,8% dari embrio
kloning yang survive.
Kato et
al. (1998) melaporkan bahwa 41% dan 17,3% dari embrio transfer inti yang
direkonstruksi dari sel-sel cumulus dan sel-sel oviduct, masing-masing
bertumbuh menjadi anak yang lahir hidup. Data-data ini sudah diulang, dan
mengindikasikan kemungkinan perbaikan potensi perkembangan dari embrio
transfer inti. Sel-sel cumulus yang diinjeksi ke dalam oosit Mencit enuclease
menstimulasi tingkat perkembangan embrio yang tinggi, tetapi setelah transfer
ke resipien hanya sekitar 0,9% yang berkembang (Wakayama et al., 1998).
Hasil penelitian
lain pada Kambing menunjukkan bahwa 2% - 13% cloned embryo yang berasal dari
sel-sel granulosa-cumulus Kambing menghasilkan anak hidup (Keefer et al.,
2000); sedangkan Polejaeva et al. (2000)
melaporkan bahwa hanya 1,2 % cloned embryo Babi yang berasal dari sel-sel
granulose yang bertahan hidup. Penting dicatat bahwa laporan yang paling
pertama yang menggunakan sel-sel granulose sebagai karyoplast dilakukan oleh
Collas dan Barnes,1994.
Studi terbaru
mengindikasikan bahwa sel-sel sertoli yang belum matang mampu menunjang
perkembangan embrio kloning pada Tikus. Ogura et al. (2000) menggunakan sel-sel
sertoli segar atau yang dikultur yang berasal dari testis Mencit immature
sebagai karyoplast. Sekitar 2,5% dari embrio tersebut berhasil berkembang.
Tanpa melihat tipe sel yang yang digunakan, jumlah embrio kloning yang mampu
bertahan hingga kelahiran hidup masi rendah yakni kurang dari 3 persen. Dan
yang lebih mengherankan adalah data-data tersebut tidak terlalu bervariasi
antar tipe sel yang digunakan sebagai karyoplast. Hal ini menunjukkan bahwa
yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan kloning adalah teknik transfer
inti dengan memasukan inti sel somatik ke dalam sitoplasma oosit. Penelitian
lanjutan harus dititikberatkan pada
pengaruh tipe sel donor dan kondisi
kultur sel terhadap efisiensi produksi kloning lewat transfer inti.
Daftar Pustaka
Admin. 2009. Aplikasi
Fitase Dalam Peternakan. www.trobos.com.
Christiansen, S. B; Sandle, P. 2000. Bioethics: Limits to
the Interference with life. Animal Reproduction science 60 - 61, p. 15 - 29.
Gordon, I. 1994. Laboratorium Production of cattle
Embryos Biotechnology in Agriculture Series CAB International.
Hafes, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animals. Sixth
edition. Lea dan Febiger Philadelphia.
Hobbelink, H. 1988. Bioteknologi dan Pertanian Dunia ketiga,
Harapan Baru Janji Palsu? Diterjemahkan oleh Bambang Suryobroto. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
IPB. 2009. Enzim Fitase. http://rudyct.com/PPS702-ipb/02201/nevy.htm.
Kelana, A. dan I.A.Atmanto. 2000. Diselamatkan bayi tabung dalam
Topik Kesehatan Majalah Gatra, 14 Oktober.
Nasoetion, A. H. 1998. Pengantar Ke Filsafat Sains. Litera
Antar Nusa. Bogor
Niemann, H. dan W.A.Kues. 2000. Transgenic livestock:
premises and promises. Animal Rep. Sci., 60-61:277-293.
Sangad, Insun. 2004. Enzim Fitase dan Peranannya dalam
Memecah Ikatan Asam Fitat pada Bahan Pakan. Bogor: IPB.
Sarwono Kusuma Atmaja. 2001. Saatnya Kuasai Teknologi
Perikanan Budidaya dalam Topik IPTEK Suara Pembaruan, 26 Februari.
Setiyatwan, Hendi. 2000. Pengaruh Penambahan Enzim Fitase
dan Tembaga Sulfat ke dalam Ransum yang Mengandung Dedak Padi
terhadapPenampilan serta Status Mineral Tembaga pada Ayam Broiler.
Setyarini, A. 2000. Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Infovet edisi 074.
Supriatna, I. 1992. Bioteknologi Reproduksi Ternak.
Disampaikan pada penataran Dosen PTS. Bogor, 28 Juli-10 Agustus 1991.
Suriasumantri dan Jujum, S. 1999. Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer. Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Rifai, M. A. 2001. Bioteknologi Mendukung Keanekaragaman
Hayati dalam Suara Pembaruan, 9 Maret.
Tajudin. K. N. 2001. Menyoalkan Tanaman Transgenik dalam
Suara Pembaruan, 26 Februari
Taufik Budhi Pramono. 2009. Transgenik Mikroinjeksi. Dalam Harian
Suara Merdeka Edisi 4 Mei 2009.
Unpad. 2009. Pengaruh Penambahan Enzim Fitase dan Tembaga
Sulfat. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/04/pengaruh_penambahan_enzim_fitase_dan_tembaga_sulfat.pdf.
Wilmut, I; Young, L; DeSousa, P; King, T. 2000. New
Opportunities in Animal breeding and production-an introduction remark. Animal
Reproduction Science 60-61. p. 5 - 14.
EmoticonEmoticon