Enzim Fitase dan Penggunaannya dalam Peternakan

Enzim Fitase dan Penggunaannya dalam Peternakan
Enzim Fitase dan Penggunaannya dalam Peternakan


Fitase adalah kelompok enzim fosfatase yang dapat memutus ikatan pada gugus orotfosfat pada rantai inositol senyawa fitat (bentuk utama senyawa fosfor di dalam tanaman). Berbagai jenis fitase telah berhasil diisolasi dari tanaman dan bakteri. Enzim-enzim ini kemudian dapat dikelopokkan berdasarkan pH optimumnya (asam dan basa), mekanisme katalitiknya (asam histidin fosfatase, beta-propeller fitase dan sistein fosfatase), berdasarkan stereospesifitasnya.

Fitase aktif asal mikroba banyak ditemukan pada spesies fungi dan aspergillus. Shieh dan Ware (1968), menyatakan bahwa hasil penyaringan pada isolat tanah terdapat lebih dari 2000 mikroorganisme yang mampu menghasilkan enzim fitase. Dari isolat tersebut kebanyakan memproduksi fitase intraselluler. Sedangkan 30 isolat adalah fitase ekstraselluler.Fitase terdapat di dalam tumbuh-tumbuhan, mikroorganisme dan jaringan tubuh ternak. The Enzym Nomenclature of The International Union of Biochemistry” menggolongkan fitase ke dalam dua tipe. Klasifikasi tersebut adalah 6 - fitase (EC 3.1.3.26) dan fitase 3 - fitase (EC 3.1.3.8). Fitase dalam saluran pencernaan berasal dari : 1). Fitase usus yang terdapat dalam saluran pencernaan, 2) fitase asal tumbuhan dan 3) fitase asal mikroba.


Fitase Usus (fitase yang dihasilkan oleh saluran pencernaan ternak)

Monogastrik, seringkali diperkirakan tidak mampu menghidrolisis asam fitat.Secara spesifik aktifitas fitase terdapat di dalam membran brush border pada usushalus unggas (Maenz dan Classen, 1998). Penelitian terdahulu membuktikan bahwahidrolisis fitat terjadi di dalam usus halus Unggas (Davies. et al., 1982). Andil darifitase mukosa dalam hidrolisis fitat pada ternak belum diketahui, akan tetapi ternak dapat menyediakan P dari P total terikat fitat apabila tidak disuplementasi fitase dalamransum (Maenz, 2001).

Suplementasi 1, 2, 5- dihidroksikolekalsiferol dalam ransumdapat memperbaiki kecernaan fitat-P pada unggas (Ravindran. et al., 1995). Unggasyang mendapat ransum difisien fosfor terlihat adanya peningkatan aktifitas fitase usus(Davies. et al., 1982). Kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya indikasi dari fitase usus dalam mendukung penggunaan fitat-P dan aktifitas enzim yang diatur oleh status mineral dan vitamin pada ternak (Bedford dan Partridge, 2001). Ravindran. etal .,(1995) menyatakan bahwa tidak ada data akan kehadiran aktifitas fitase di dalam skeretin usus dan mukosa usus unggas.

Fitase Alami (Fitase asal tumbuhan)

Tumbuh-tumbuhan mengandung fitase aktif, level fitase dan peran enzim dalam menghidrolisis fitat dalam biji-bijian berbeda antar tumbuhan. Pada mulanya, fitase dibuat dari dedak (Suzuki. et al ., 1999). Selanjutnya penelitian fitase secara intensif dilakukan pada dedak gandum, dilakukan evaluasi terhadap aktifitas fitase di dalam 51 buah bahan pakan yang digunakan adalah Belgian feed mills dan disimpulkan bahwa aktifitas fitase memiliki hubungan signifikan di dalam biji-bijian seperti gandum, gandum dan barley akan tetapi di dalam bahan pakan lainnya seperti tepung kedelai level fitase marginal. Suhu optimal fitase asal sereal adalah antara 45oC sampai 57o C (Irving, 1980).

Fitase asal tumbuhan memiliki pH optimum antara 4.8 - 5.6 9Turk, 1999). Sebagai contoh dinyatakan bahwa degradasi fitat sangat efisien pada kacang kapri (Pisum Sativum) yang diinkubasi dalam bentuk tepung pada pH 7.5 dan temperature 45 derajat C. pH optimum untuk aktifitas fitase asal tumbuhan adalah sekitar 4.0 - 6.0 (Irving, 1980). Aktifitas fitase asal tumbuhan bervariasi dipengaruhi oleh cultivar, umur dan kondisi penyimpanan (Liu, B.L. et al., 1998). Temperatur tinggi yaitu 70 - 80 derajat  C akan menyebabkan sebagian atau seluruh enzim tidak aktif (Pallauf, J dan Rimbach, G., 1996).

Sumber fitase lainnya dikenal dengan nama PhytaSeed. Enzim ini diproduksi dari biji canola dimana identifikasi gen fitase sama dengan yang terdapat pada aspergillus niger Wyss,M. et al ., 1998) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan kandungan enzim fitase dari kedua jenis tersebut.

Fitase Asal Mikroba

Mikroorganisme penghasil fitase berasal dari bakteri misalnya spesies pseudomonas (Irving dan Cosgrove, 1971), Yeast seperti Saccharomyces cereviceae, dan spesies aspergillus seperti aspergillus niger dan aspergillus ficuum. Dvorakova (1998) mendaftarkan 29 spesies fungi, bakteri dan yeast yang memproduksi enzim fitase aktif. Dari 29 spesies yang terdaftar, 21 memproduksi fitase ekstraselluler dengan aktifitas paling tinggi (Volfova. et al., 1994).

Nielsen. et al. (1997) menyatakan bahwa hidrolisis fitat pada induk sapi perah dan anak terjadi di dalam saluran pencernaan. Keadaan ini memungkinkan fitase asal mikroba akan aktif dalam saluran pencernaan monogastrik dengan kondisi tertentu, walaupun di dalam unggas kelihatannya hidrolisis fitat kurang penting. Selanjutnya dinyatakan bahwa fitase asal mikroba aktif di dalam saluran pencernaan.

Mereka mengadakan penelitian dengan memberikan penambahan alkali esceria coli cellular, akibat perlakuan tersebut terjadi difisiensi fosfor di dalam usus halus, selanjutnya menambahkan campuran tepung jagung dan kacang kedelei pada ransum dan terjadi perbaikan pada pertumbuhan dan kalsifikasi unggas, respon ini mambuktikan akan adanya fitase atau enzim yang serupa asal bakteri. Enzim fitase ekstraselluler yang berasal dari mikroba stabil pada suhu tinggi. Peningkatan suhu pada medium pereaksi dari suhu ruang menjadi 58 derajat C, terjadi peningkatan hidrolisis fitat oleh fitase asal aspergillus ficuum (Ullah. et al.,1991).

Peningkatan suhu dari suhu medium secara sinergis terjadi penurunan aktifitas enzim dan tidak terdeteksi pada suhu 68 derajat C (Ullah dan Dischinger, 1995). Suhu optimum perlu diperhatikan untuk menjaga stabilitas enzim terutama pada saat proses pembuatan ransum. Suhu optimum aktifitas enzim fitase asal bacillus DS 11 dan dari aspergillus fumigatu telah diteliti. Enzim fitase asal A. fumigatus aktif pada kisaran pH yang luas dan suhu ekstrim 100 derajat C selama 20 menit atau 90oC selama 120 menit (Pasamontes. et al., 1997).

Fitase asal aspergillus fumigatus memiliki potensi untuk dikembangkan secara komersial sebab pada lingkungan tersebut akan mampu mempertahankan aktifitasnya dalam proses pelleting. Enzim fitase yang diproduksi secara komersial adalah hasil encoding gen pada aspergillus niger. Produksi enzim berasal dari aspergillus niger var. vacuum perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap aktifitasnya. Enzim fitase komersial asal aspergillus niger itu sendiri sudah digunakan sebagai pakan aditif pada hewan monogastrik di Eropa (Wodzinski dan Ullah, 1996).

Aplikasi Fitase dalam Peternakan

Fitase sebagai bahan pakan aditif diharapkan mampu melepaskan ikatan fitat dengan kalsium, tembaga, seng dan mangan serta meningkatkan relaksasi usus dan absorbs nutrient. Asam fitat (C6H18O24P6 ) mempunyai sifat sebagai chelating agent, yaitu memiliki kemampuan mengikat mineral-mineral bervalensi dua diantaranya adalah tembaga (Cu2+) sehingga ketersediaannya bagi kebutuhan biologis ternak menjadi rendah. Kandungan asam fitat tinggi dalam ransum akan menurunkan ketersediaan hayati tembaga. Asam fitat pada pH netral membentuk kompleks dengan tembaga. Ikatan kompleks fitat-Cu merupakan ikatan yang sangat stabil dan sangat tidak larut sehingga absorpsi dalam saluran pencernaan dan ketersediaan hayatinya menurun.

Suplementasi fitase efektif memperbaiki penggunaan dan ketersediaan Ca dan P. Peningkatan ketrsediaan fosfor berkorelasi positif dengan peningkatan penggunaan mineral Ca dan Zn, tetapi ketersediaan elemen organic ini dalam jumlah tinggi akan mengganggu absorbsi, retensi dan distribusi mineral tembaga. Suplementasi enzim fitase dan Cu ke dalam ransum berbasis dedak padi pada ternak diharapkan mampu memperbaiki kinerja ternak, seperti ayam broiler melalui peningkatan kerja enzim pertumbuhan, perbaikan kesehatan ternak, dan ketersediaan nutrient melalui peningkatan absorpsi dalam saluran pencernaan yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan hayati mineral akibat peran enzim fitase.

Manfaat fitase dalam Peternakan, antara lain:
  • Mengurangi suplementasi fosfor anorganik dalam pakan ternak
  • Mengurangi kadar fosfor total ternak / unggas dan mengurangi fosfor dikeluarkan dalam kotoran 40%-60% sehingga mengurangi pencemaran lingkungan
  • Meningkatkan kecernaan mineral P ataupun mineral lainnya yang terikat zat anti nutrisi bernama fitat.
  • Fitase mampu memecah ikatan kompleks karbohidrat dan protein yang berikatan dengan fitat, sehingga meningkatkan efisiensi penggunaan protein, mineral dan nutrisi lain dan meningkatkan kinerja produksi ternak atau unggas.
  • Meningkatkan ruang dalam formula pakan, untuk meningkatkan kualitas pakan.
  • Mengurangi resiko keracunan logam berat dan pencemaran mikroba yang disebabkan oleh fosfat di kalsium dan tepung tulang.
  • Mengurangi polusi debu dalam pengolahan pakan dengan mengurangi suplemen fosfor anorganik.



Daftar Pustaka
Admin. 2009. Aplikasi Fitase Dalam Peternakan. www.trobos.com.
Christiansen, S. B; Sandle, P. 2000. Bioethics: Limits to the Interference with life. Animal Reproduction science 60 - 61, p. 15 - 29.
Gordon, I. 1994. Laboratorium Production of cattle Embryos Biotechnology in Agriculture Series CAB International.
Hafes, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animals. Sixth edition. Lea dan Febiger Philadelphia.    
Hobbelink, H. 1988. Bioteknologi dan Pertanian Dunia ketiga, Harapan Baru Janji Palsu? Diterjemahkan oleh Bambang Suryobroto. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
IPB. 2009. Enzim Fitase. http://rudyct.com/PPS702-ipb/02201/nevy.htm.
Kelana, A. dan I.A.Atmanto. 2000. Diselamatkan bayi tabung dalam Topik Kesehatan Majalah Gatra, 14 Oktober.
Nasoetion, A. H. 1998. Pengantar Ke Filsafat Sains. Litera Antar Nusa. Bogor
Niemann, H. dan W.A.Kues. 2000. Transgenic livestock: premises and promises. Animal Rep. Sci., 60-61:277-293.
Sangad, Insun. 2004. Enzim Fitase dan Peranannya dalam Memecah Ikatan Asam Fitat pada Bahan Pakan. Bogor: IPB.
Sarwono Kusuma Atmaja. 2001. Saatnya Kuasai Teknologi Perikanan Budidaya dalam Topik IPTEK Suara Pembaruan, 26 Februari.
Setiyatwan, Hendi. 2000. Pengaruh Penambahan Enzim Fitase dan Tembaga Sulfat ke dalam Ransum yang Mengandung Dedak Padi terhadapPenampilan serta Status Mineral Tembaga pada Ayam Broiler.
Setyarini, A. 2000. Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. Infovet edisi 074.
Supriatna, I. 1992. Bioteknologi Reproduksi Ternak. Disampaikan pada penataran Dosen PTS. Bogor, 28 Juli-10 Agustus 1991.
Suriasumantri dan Jujum, S. 1999. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Rifai, M. A. 2001. Bioteknologi Mendukung Keanekaragaman Hayati dalam Suara Pembaruan, 9 Maret.
Tajudin. K. N. 2001. Menyoalkan Tanaman Transgenik dalam Suara Pembaruan, 26 Februari
Taufik Budhi Pramono. 2009. Transgenik Mikroinjeksi. Dalam Harian Suara Merdeka Edisi 4 Mei 2009.
Unpad. 2009. Pengaruh Penambahan Enzim Fitase dan Tembaga Sulfat. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/04/pengaruh_penambahan_enzim_fitase_dan_tembaga_sulfat.pdf.
Wilmut, I; Young, L; DeSousa, P; King, T. 2000. New Opportunities in Animal breeding and production-an introduction remark. Animal Reproduction Science 60-61. p. 5 - 14.

Not need to know.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »