Penerapan Bioteknologi dalam Bidang Peternakan

Selama kurang lebih empat dasawarsa terakhir, kita melihat begitu pesat perkembangan bioteknologi di berbagai bidang. Pesatnya perkembangan bioteknologi ini sejalan dengan tingkat kebutuhan manusia dimuka bumi. Hal ini dapat dipahami mengingat bioteknologi menjanjikan suatu revolusi pada hampir semua aspek kehidupan manusia, mulai dari bidang pertanian, peternakan dan perikanan hingga kesehatan dan pengobatan.

Di bidang peternakan dan perikanan, teknologi transgenik merupakan salah satu alternatif upaya peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Beberapa contoh penerapan bioteknologi dalam bidang peternakan, yaitu: Kloning, Inseminasi Buatan, Penggunaan Enzim Fitase, dan Transgenik Mikroinjeksi.


Kloning

Kloning merupakan salah satu bioteknologi mutakhir yang sangat bermanfaat untuk memultiplikasi genotip hewan yang memiliki keunggulan tertentu dan preservasi hewan yang hampir punah. Walaupun keberhasilan produksi hewan kloning lewat transfer inti sel somatik telah dicapai pada berbagai spesies, seperti domba, sapi, mencit, kambing babi, kucing, dan kelinci, efisiensinya sampai sekarang masih sangat rendah yakni kurang dari 1 persen, dengan sekitar 10 persen yang lahir hidup (Han et al., 2003).

Transfer inti melibatkan suatu seri prosedur yang kompleks termasuk kultur sel donor, maturasi oosit in vitro, enukleasi, injeksi sel atau inti, fusi, aktivasi, kultur in vitro reconstructed embryo, dan transfer embrio. Jika salah satu dari tahap-tahap ini kurang optimal, produksi embrio atau hewan kloning dapat terpengaruh.

Sejarah tentang hewan kloning telah muncul sejak awal tahun 1900, tetapi contoh hewan kloning baru dapat dihasilkan lewat penelitian Wilmut et al. (1997), dan untuk pertama kali membuktikan bahwa kloning dapat dilakukan pada hewan mamalia dewasa. Hewan kloning tersebut dihasilkan dari inti sel epitel ambing domba dewasa yang dikultur dalam suatu medium, kemudian ditransfer ke dalam ovum domba yang kromosomnya telah dikeluarkan, yang pada akhirnya menghasilkan anak domba kloning yang diberi nama Dolly.


Kloning domba pertama sebenarnya telah dilaporkan oleh Willadson (1986) yang menggunakan blastomer-blastomer embrio sebagai donor inti. Dan hal inilah yang menjadi precursor bagi kegiatan-kegiatan transplantasi inti hewan-hewan domestik termasuk domba Dolly. Produksi domba identik oleh Willadson (1986) mencetuskan berbagai perbaikan dalam teknik-teknik kloning pada berbagai spesies hewan. Hewan-hewan kloning yang dihasilkan dari transplantasi inti sel somatik telah dilaporkan pada mencit, sapi, kambing, domba, dan babi (Wakayama et al., 1998; Kato et al., 1998; Keefer et al., 2000; Wilmut et al., 1997; Polejaeva et al., 2000).

Penelitian-penelitian yang melibatkan spesies-spesies lain terus dilakukan, dan dari informasi yang dihimpun menunjukkan bahwa berbagai spesies hewan dapat dikloning lewat transplantasi inti. Walaupun hewan kloning yang dihasilkan lewat transplantasi inti sangat tidak efisien, fakta bahwa hewan kloning dari berbagai spesies telah diproduksi oleh sejumlah laboratorium menunjukkan begitu besarnya keinginan untuk memproduksi atau mengkloning hewan dengan genotip-genotip spesifik.

Disamping itu, ada juga permintaan untuk mengkloning hewan-hewan yang bergenetik unggul; sedangkan keinginan untuk mereplikasi genotip spesifik dari hewan-hewan kesayangan masih bersifat individual. Spesies hewan lainnya yang menjadi target kloning adalah hewan hewan yang sudah hampir punah, hewan steril, infertile, ataupun hewan mati.

Inseminasi Buatan

Inseminasi buatan adalah memasukkan atau penyampaian semen ke dalam saluran reproduksi betina dengan menggunakan alat-alat buatan manusia dan bukan secara alami. Namun perkembangan lebih lanjut dari inseminasi buatan tidak hanya mencangkup memasukkan semen ke dalam saluran reproduksi betina, tetapi juga menyangkut seleksi dan pemeliharaan sperma, penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencatatan, dan penentuan hasil inseminasi pada hewan.

Tujuan dari inseminasi buatan dalam peternakan, yaitu:
  • Memperbaiki mutu genetika ternak;
  • Tidak mengharuskan pejantan unggul untuk dibawa ketempat yang dibutuhkan sehingga mengurangi biaya;
  • Mengoptimalkan penggunaan bibit pejantan unggul secara lebih luas dalam jangka waktu yang lebih lama;
  • Meningkatkan angka kelahiran dengan cepat dan teratur;
  • Mencegah penularan / penyebaran penyakit kelamin


Prosedur Inseminasi Buatan adalah sebagai berikut:
  • Sebelum melaksanakan prosedur Inseminasi Buatan (IB) maka semen harus dicairkan (thawing) terlebih dahulu dengan mengeluarkan semen beku dari nitrogen cair dan memasukkannya dalam air hangat atau meletakkannya dibawah air yang mengalir. Suhu untuk thawing yang baik adalah 37oC. Jadi semen/straw tersebut dimasukkan dalam air dengan suhu badan 37 oC, selama 7-18 detik.
  • Setelah dithawing, straw dikeluarkan dari air kemudian dikeringkan dengan tissue.
  • Kemudian straw dimasukkan dalam gun, dan ujung yang mencuat dipotong dengan menggunakan gunting bersih
  • Setelah itu Plastic sheath dimasukkan pada gun yang sudah berisi semen beku/straw
  • Sapi dipersiapkan (dimasukkan) dalam kandang jepit, ekor diikat
  • Petugas Inseminasi Buatan (IB) memakai sarung tangan (glove) pada tangan yang akan dimasukkan ke dalam rektum
  • Tangan petugas Inseminasi Buatan (IB) dimasukkan ke rektum, hingga dapat menjangkau dan memegang leher rahim (servix), apabila dalam rektum banyak kotoran harus dikeluarkan lebih dahulu
  • Semen disuntikkan/disemprotkan pada badan uterus yaitu pada daerah yang disebut dengan 'posisi ke empat'. Setelah semua prosedur tersebut dilaksanakan maka keluarkanlah gun dari uterus dan servix dengan perlahan-lahan.


Cara Mereproduksi Semen Beku
  • Reproduksi semen beku hanya dapat dilakukan di Balai Inseminasi Buatan (BIB). Tahapan-tahapan dalam memproduksi semen beku diantaranya yaitu:
  • Mempersiapkan sapi pejantan yang akan diinseminasi yang umurnya 15 - 18 bulan, tingginya 123 cm dan beratnya minimal 350 kg.
  • Persiapan vagina buatan yang suhunya mencapai 420C, vagina buatan ini harus licin, karena itu gunakan vaseline agar licin seperti vagina yang asli
  • Penampungan semen sapi pejantan, sapi pejantan dan spai betina disatukan kemudian sapi-sapi itu akan melakukan fisin (pemanasan sebelum kawin), bila penis jantan telah kelihatan merah, tegang dan kencang, maka penis langsung dimasukan ke vagina buatan.
  • Kemudian sperma dalam vagina buatan dibawa ke laboratorium untuk diperiksa. Sperma Sapi yang berwarna krem susu bening adalah sperma yang bagus untuk Inseminasi Buatan.
  • Penentuan konsentrasi semen segar
  • Proses pengenceran sperma
  • Proses filing dan sealing, memasukan sperma ke dalam ministrow isi I strow 0,25 CC
  • Proses pembekuan

    Proses Inseminasi buatan
    Proses Inseminasi buatan

Aplikasi Penggunaan Enzim Fitase

Fitase adalah kelompok enzim fosfatase yang dapat memutus ikatan pada gugus orotfosfat pada rantai inositol senyawa fitat (bentuk utama senyawa fosfor di dalam tanaman). Berbagai jenis fitase telah berhasil diisolasi dari tanaman dan bakteri. Enzim-enzim ini kemudian dapat dikelopokkan berdasarkan pH optimumnya (asam dan basa), mekanisme katalitiknya (asam histidin fosfatase, beta-propeller fitase dan sistein fosfatase), berdasarkan stereospesifitasnya.

Fitase aktif asal mikroba banyak ditemukan pada spesies fungi dan Aspergillus. Shieh dan Ware (1968), menyatakan bahwa hasil penyaringan pada isolat tanah terdapat lebih dari 2000 mikroorganisme yang mampu menghasilkan enzim fitase. Dari isolat tersebut kebanyakan memproduksi fitase intraselluler. Sedangkan 30 isolat adalah fitase ekstraselluler.Fitase terdapat di dalam tumbuh-tumbuhan, mikroorganisme dan jaringan tubuh ternak. The Enzym Nomenclature of The International Union of Biochemistry” menggolongkan fitase ke dalam dua tipe. Klasifikasi tersebut adalah 6 - fitase (EC 3.1.3.26) dan fitase 3 - fitase (EC 3.1.3.8). Fitase dalam saluran pencernaan berasal dari : 1). Fitase usus yang terdapat dalam saluran pencernaan, 2) fitase asal tumbuhan dan 3) fitase asal mikroba.


Aplikasi Fitase dalam Peternakan
Fitase sebagai bahan pakan aditif diharapkan mampu melepaskan ikatan fitat dengan kalsium, tembaga, seng dan mangan serta meningkatkan relaksasi usus dan absorbs nutrient. Asam fitat (C6H18O24P6 ) mempunyai sifat sebagai chelating agent, yaitu memiliki kemampuan mengikat mineral-mineral bervalensi dua diantaranya adalah tembaga (Cu2+) sehingga ketersediaannya bagi kebutuhan biologis ternak menjadi rendah. Kandungan asam fitat tinggi dalam ransum akan menurunkan ketersediaan hayati tembaga. Asam fitat pada pH netral membentuk kompleks dengan tembaga. Ikatan kompleks fitat-Cu merupakan ikatan yang sangat stabil dan sangat tidak larut sehingga absorpsi dalam saluran pencernaan dan ketersediaan hayatinya menurun.

Suplementasi fitase efektif memperbaiki penggunaan dan ketersediaan Ca dan P. Peningkatan ketrsediaan fosfor berkorelasi positif dengan peningkatan penggunaan mineral Ca dan Zn, tetapi ketersediaan elemen organic ini dalam jumlah tinggi akan mengganggu absorbsi, retensi dan distribusi mineral tembaga. Suplementasi enzim fitase dan Cu ke dalam ransum berbasis dedak padi pada ternak diharapkan mampu memperbaiki kinerja ternak, seperti ayam broiler melalui peningkatan kerja enzim pertumbuhan, perbaikan kesehatan ternak, dan ketersediaan nutrient melalui peningkatan absorpsi dalam saluran pencernaan yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan hayati mineral akibat peran enzim fitase.

Manfaat fitase dalam Peternakan, antara lain:
  • Mengurangi suplementasi fosfor anorganik dalam pakan ternak
  • Mengurangi kadar fosfor total ternak / unggas dan mengurangi fosfor dikeluarkan dalam kotoran 40%-60% sehingga mengurangi pencemaran lingkungan
  • Meningkatkan kecernaan mineral P ataupun mineral lainnya yang terikat zat anti nutrisi bernama fitat.
  •  Fitase juga mampu memecah ikatan kompleks karbohidrat dan protein yang berikatan dengan fitat, sehingga meningkatkan efisiensi penggunaan protein, mineral dan nutrisi lain dan meningkatkan kinerja produksi ternak atau unggas.
  • Meningkatkan ruang dalam formula pakan, untuk meningkatkan kualitas pakan.
  • Mengurangi resiko keracunan logam berat dan pencemaran mikroba yang disebabkan oleh fosfat di kalsium dan tepung tulang.
  • Mengurangi polusi debu dalam pengolahan pakan dengan mengurangi suplemen fosfor anorganik.


Transgenik Mikroinjeksi

Secara bioteknis, tolok ukur keberhasilan budidaya perikanan umumnya adalah produksi ikan dengan pertumbuhan cepat, efisien dalam pemanfaatan pakan, dan kelangsungan hidupnya tinggi.

Setiap spesies ikan memiliki kemampuan tumbuh yang berbeda. Perbedaan petumbuhan dapat tercermin dalam laju pertumbuhannya maupun potensi tumbuh dari ikan tersebut.

Perbedaan pertumbuhan ikan disebabkan faktor genetik. Untuk mencapai target maksimal produksi perikanan, berbagai upaya telah dilakukan. Salah satunya dengan meningkatkan laju pertumbuhan ikan yang dapat mempersingkat periode produksi.

Selama ini, metode yang umum digunakan untuk memperbaiki laju pertumbuhan ikan adalah selective breeding, dengan menggunakan induk terpilih secara cermat, kemudian diseleksi pada setiap generasi yang berkualitas tinggi atau seleksi dalam satu famili.

Namun metode ini memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan gen yang stabil dan terbentuknya galur murni.

Teknologi Transgenik
Dalam dua dekade terakhir telah dikembangkan metode yang dapat menggantikan metode selective breeding, yaitu transfer gen atau pupolar dengan istilah transgenesis/transgenik. Transgenik adalah pengintriduksian satu gen atau lebih ke embrio suatu organisme. Selanjutnya, gen tersebut dapat ditransmisikan paa generasi berikutnya. Gen asing yang diintroduksi biasanya berkaitan dengan karakter fenotipe penting dalam budidaya ikan, sehingga dengan metode ini akan didapatkan ikan-ikan yang memiliki sifat-sifat yang lebih unggul daripada ikan normal.

Ikan hasil trangenik yang pernah dilakukan adalah salmon atlantik, di mana hasil pertumbuhannya mencapai 2-6 kali lipat ikan salmon atlantik nontransgenik. Ikan nila mampu tumbuh 2-7 kali lebih besar, bahkan ikan mud loach mampu tumbuh 35 kali lebih besar daripada ikan normal.

Kalau diurai lebih lanjut, ada beberapa metode transgenik yang dikenal, antara lain mikroinjeksi, electroporation, sperm delivery, particle bombardment, dan lipofection.

Di antara metode-metode transgenik tersebut, yang umum digunakan adalah mikroinjeksi. Dengan metode ini, gen asing diintroduksi ke dalam embrio ikan dengan menggunakan jarum injeksi berdiameter sangat kecil (5-7 mikrometer). Satu mikrometer sama dengan seperjuta meter. Penggunaan mikroskop sangat diperlukan selama proses mikroinjeksi berlangsung.

Penggunaan Mikroinjeksi
Mikroinjeksi memiliki beberapa bagian penting, yaitu mikromanipulator, mikroinjektor, dan jarum mikroinjeksi. Mikromanipulator berfungsi mengatur posisi sehingga jarum mikroinjeksi dapat menembus blastodisk telur, sedangkan mikroinjektor mendorong larutan DNA yang akan dimasukkan ke bagian blastodisk.

Penggunaan mikroinjeksi dalam transgenik ikan didukung oleh beberapa faktor, seperti jumlah telur yang relatif banyak, dan fertilisasi terjadi secara eksternal sehingga memudahkan introduksi gen asing pengkode target.

Selain itu, dengan fertilisasi eksternal, kita dapat mengatur waktu sehingga jumlah telur yang diinjeksi bisa maksimal.

Keuntungan lainnya adalah embrio ikan dapat dipelihara dalam media air tanpa suplemen. Sebab perkembangan embrio cukup mengandalkan nutrient dari kuning telur. Embrio ikan tidak memerlukan manipulasi yang kompleks seperti pada mammalia, yang harus dilakukan kultur in vivo dan transfer embrio ke dalam rahim induk.



Daftar Pustaka
Admin. 2009. Aplikasi Fitase Dalam Peternakan. www.trobos.com.
Christiansen, S. B; Sandle, P. 2000. Bioethics: Limits to the Interference with life. Animal Reproduction science 60 - 61, p. 15 - 29.
Gordon, I. 1994. Laboratorium Production of cattle Embryos Biotechnology in Agriculture Series CAB International.
Hafes, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animals. Sixth edition. Lea dan Febiger Philadelphia.    
Hobbelink, H. 1988. Bioteknologi dan Pertanian Dunia ketiga, Harapan Baru Janji Palsu? Diterjemahkan oleh Bambang Suryobroto. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
IPB. 2009. Enzim Fitase. http://rudyct.com/PPS702-ipb/02201/nevy.htm.
Kelana, A. dan I.A.Atmanto. 2000. Diselamatkan bayi tabung dalam Topik Kesehatan Majalah Gatra, 14 Oktober.
Nasoetion, A. H. 1998. Pengantar Ke Filsafat Sains. Litera Antar Nusa. Bogor
Niemann, H. dan W.A.Kues. 2000. Transgenic livestock: premises and promises. Animal Rep. Sci., 60-61:277-293.
Sangad, Insun. 2004. Enzim Fitase dan Peranannya dalam Memecah Ikatan Asam Fitat pada Bahan Pakan. Bogor: IPB.
Sarwono Kusuma Atmaja. 2001. Saatnya Kuasai Teknologi Perikanan Budidaya dalam Topik IPTEK Suara Pembaruan, 26 Februari.
Setiyatwan, Hendi. 2000. Pengaruh Penambahan Enzim Fitase dan Tembaga Sulfat ke dalam Ransum yang Mengandung Dedak Padi terhadapPenampilan serta Status Mineral Tembaga pada Ayam Broiler.
Setyarini, A. 2000. Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. Infovet edisi 074.
Supriatna, I. 1992. Bioteknologi Reproduksi Ternak. Disampaikan pada penataran Dosen PTS. Bogor, 28 Juli-10 Agustus 1991.
Suriasumantri dan Jujum, S. 1999. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Rifai, M. A. 2001. Bioteknologi Mendukung Keanekaragaman Hayati dalam Suara Pembaruan, 9 Maret
Tajudin. K. N. 2001. Menyoalkan Tanaman Transgenik dalam Suara Pembaruan, 26 Februari.
Taufik Budhi Pramono. 2009. Transgenik Mikroinjeksi. Dalam Harian Suara Merdeka Edisi 4 Mei 2009.
Unpad. 2009. Pengaruh Penambahan Enzim Fitase dan Tembaga Sulfat. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/04/pengaruh_penambahan_enzim_fitase_dan_tembaga_sulfat.pdf.
Wilmut, I; Young, L; DeSousa, P; King, T. 2000. New Opportunities in Animal breeding and production-an introduction remark. Animal Reproduction Science 60-61. p. 5 - 14.

Not need to know.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »