Aksiologi dan Penerapannya dalam Pendidikan |
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu axios dan logos. Kata axios berarti nilai sedangkan logos berarti teori atau ilmu. Jadi
aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Menurut
Kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika.
Baca juga: Aksiologidan Filsafat Ilmu
Aksiologi Sains
Kegunaan
Pengetahuan Sains
Secara umum teori
berarti pendapat yang beralasan, sekurang-kurangnya kegunaan teori Sains ada
tiga yaitu sebagai alat membuat eksplanasi, menurut teori Sain anak-anak yang
orang tuanya cerai, pada umumnya akan berkembang menjadi anak nakal,
penyebabnya ialah karena anak-anak itu tidak mendapat pendidikan yang baik dari
kedua orang tuanya; sebagai alat peramal, saat membuat eksplanasi, biasanya
ilmuwan telah mengatahui juga faktor penyebab terjadinya gejala itu, dengan
“mengutak-atik” faktor penyebab itu, ilmuwan dapat membuat ramalan atau
prediksi; sebagai alat pengontrol.
Cara Sains Menyelesaikan Masalah
Adapun caranya adalah
mengidentifikasi masalah, mencari penyebab terjadinya masalah tersebut, mencari
cara untuk memperbaiki masalah
Netralitas Sains
Artinya sain tidak
memihak pada kebaikan dan juga tidak memihak pada kejahatan.
Aksiologi dan Pendidikan
Hubungan Antara Aksiologi dengan Pendidikan
Aksiologi mempelajari
mengenai manfaat apa yang diperoleh dari ilmu pengetahuan,menyelidiki hakikat
nilai,serta berisi mengenai etika dan estetika.Penerapan aksiologi dalam
pendidikan misalnya saja adalah dengan adanya mata pelajaran ilmu sosial dan
kewarganegaraan yang mengajarkan bagaimanakah etika atau sikap yang baik
itu,selain itu adalah mata pelajaran kesenian yang mengajarkan mengenai
estetika atau keindahan dari sebuah karya manusia. Dasar Aksiologis Pendidikan adalah
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi
juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan
sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab.
Aksiologi Filsafat Pendidikan
Secara historis,
istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals).
Tetapi dewasa ini, istilah axios
(nilai) dan logos (teori) lebih akrab
dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory
of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang
baik dan buruk (good and bad), benar
dan salah (right and wrong), serta
tentang cara dan tujuan (means and ends).
Aksiologi mencoba
merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti
apa itu baik (what is good?). Tatkala
yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang
moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau
“sepatutnya” (ought/should).
Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan
konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua
kategori dasar aksiologis; 1) objectivism
dan 2) subjectivism. Keduanya
beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak
bergantung pada manusia (dependent upon
or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua
yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran
subyektivis.
Pertama, teori nilai
intuitif (the initiative theory of value).
Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk
mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau absolut.
Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau absolut itu eksis dalam
tatanan yang bersifat obyektif.
Nilai ditemukan
melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan
bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek,
dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau
perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut
melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual
atau sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya.
Kedua, teori nilai
rasional (the rational theory of value).
Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni
independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran
manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang
benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa
hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan
kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang
menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan
perilakunya.
Ketiga, teori nilai
alamiah (the naturalistik theory of value).
Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan
hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia,
yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani
tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai
instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan
kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada
kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia.
Keempat, teori nilai
emotif (the emotive theory of value).
Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya,
maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan
faktual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu
opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian penting dari
tindakan manusia.
Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu
Pengetahuan
Berkenaan dengan
nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu sangat bermanfaat bagi
seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia.
Berkaitan dengan hal
ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri yaitu
bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau
justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang
disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan
kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk
mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak
mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam
menggunakannya.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan
filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya
dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu filsafat sebagai kumpulan teori
digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak
ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia,
atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem
politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan
mempelajari teori-teori filsafat ilmu; filsafat sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi
yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan
dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk
dalam menjalani kehidupan; Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan
masalah.
Dalam hidup ini kita
menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari
pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani
lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara
menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit.
Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak
terselesaikan secara tuntas. Penyelesaian yang detail itu biasanya dapat
mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.
Penerapan Aksiologi dalam Pendidikan
Telah dijelaskan pada
tulisan sebelumnya bahwa aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan (Kattsoff, 1992:327) atau studi tentang hakikat tertinggi,
realitas, dan arti dari nilai-nilai (Sarwan, 1984:22). Penerapan aksiologi
sebagai nilai-nilai dalam dunia pendidikan dapat dikemukakan sebagai berikut:
Aliran filsafat
progressivisme telah memberikan sumbangan yang besar terhadap dunia pendidikan
karena meletakkan dasar-dasar kemerdekaan, dan kebebasan kepada anak didik.
Oleh karena itu, filsafat ini tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab
pendidikan otoriter akan mematikan potensi pebelajar untuk mengembangkan
potensinya.
Untuk itu pendidikan
sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi kebudayaan baru yang memberikan
warna dan corak dari kreasi yang dihasilkan dari situasi yang tercipta secara
edukatif.
Setiap pebelajar
mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang dimilikinya yang berbeda
dengan makhluk-makhluk lain. Potensi tersebut bersifat kreatif dan dinamis
untuk memecahkan problema-problema yang dihadapinya.
Sekolah yang ideal
adalah sekolah yang pelaksanaan pendidikannya terintegrasi dengan
lingkungannya. Sekolah adalah bagian dari masyarakat, sehingga harus diupayakan
pelestarian karakteristik lingkungan sekolah atau daerah tempat sekolah itu
berada dengan prinsip learning by doing
(belajar dengan berbuat). Tegasnya, sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge (pemindahan
pengetahuan), melainkan juga sebagai transfer
of value (pendidikan nilai-nilai) sehingga anak menjadi terampil dan
berintelektual.
Aliran essensialisme
berpandangan bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai budaya yang telah
ada sejak awal peradaban manusia. Kebudayaan yang diwariskan kepada kita telah
teruji oleh seluruh zaman, kondisi, dan sejarah. Kesalahan kebudayaan modern
sekarang menurut aliran ini ialah cenderung menyimpang dari nilai-nilai yang
diwariskan itu.
Esessialisme
memandang bahwa seorang pebelajar memulai proses pendidikannya dengan memahami
dirinya sendiri, kemudian bergerak keluar untuk memahami dunia objektif. Dari
mikrokosmos menuju makrokosmos. Dengan landasan pemikiran tersebut, maka
belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada dirinya sendiri.
Aliran perenialisme
berpandangan bahwa pendidikan sangat dipengaruhi oleh pandangan tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan
Thomas Aquinas. Menurut Plato manusia secara kodrati memiliki tiga potensi
yaitu nafsu, kemauan, dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada
potensi itu dan kepada masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan
masyarakat dapat terpenuhi. Sedangkan Aristoteles lebih menekankan pada dunia
kenyataan. Tujuan pendidikan adalah kebahagian untuk mencapai tujuan itu, maka aspek
jasmani, emosi dan intelektual harus dikembangkan secara seimbang. Menurut
Robert Hutchkins manusia adalah animal
rasionale, maka tujuan pendidikan adalah mengembangkan akal budi agar
seseorang dapat hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri.
Aliran
rekonstruksionisme ingin merombak kebudayaan lama dan membangun kebudayaan baru
melalui lembaga dan proses pendidikan. Perubahan ini dapat terwujud bila
melalui usaha kerja sama semua umat manusia atau bangsa-bangsa. Masa depan umat
manusia adalah suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara
demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh suatu golongan. Cita-cita demokrasi
yang sebenarnya bukan hanya dalam teori melainkan harus menjadi kenyataan, dan
terlaksana dalam praktik. Hanya dengan demikian dapat pula diwujudkan satu
dunia yang dengan potensi-potensi teknologi mampu meningkatkan kesehatan,
kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, dan jaminan hukum bagi masyarakat, tanpa
membedakan warna kulit, nasionalitas, kepercayaan, dan agama.
Pendidikan bertujuan
untuk mewariskan nilai-nilai yang dipandang penting untuk pembinaan kepribadian
seseorang. Implikasi dan nilai-nilai (aksiologi) di dalam pendidikan harus
diintegrasikan secara utuh dalam kehidupan pendidikan secara praktis dan tidak
dapat dipisahkan dengan nilai-nilai yang meliputi kecerdasan, nilai-nilai
ilmiah, nilai moral, dan nilai agama. Hal ini tersimpul di dalam tujuan
pendidikan, yakin membawa kepribadian secara sempurna. Pengertian sempurna
disini ditentukan oleh masing-masing pribadi, masyarakat, bangsa sesuai situasi
dan kondisi.
Daftar
Pustaka:
Ali,
Hamdani. 1993. Filsafat Pendidikan.
Yogyakarta: Kota Kembang
Bahtiar,
Amsal. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta:
PT. RAJAGRAFINDO PERSADA
Depdiknas.
2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
Endrotomo.
2004. Ilmu dan Teknologi. Information
System ITS
Jalaluddin
dan Abdullah Idi. 1997. Filsafat
Pendidikan. Jakarta: Baya Madya Pratama
Kasttoff,
Louis O. 1992. Element of Philosophy diterjemahkan
oleh Soejono Soemargono dengan
judul Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana
Mustansyir,
Rizal. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Poedjawijatna.
2004. Tahu dan Pengetahuan. Jakarta:
Rineka Cipta
Sahabuddin.
1997. Filsafat Pendidikan suatu Pengantar ke dalam Pemikiran, Pemahaman,
dan Pengamalan Pendidikan Bersendikan Filsafat. Ujung Pandang. Program Pascasarjana IKIP
Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materil : Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Jakarta: Reneka Cipta
Salam,
Burhanudin. 2000. Sejarah Filsafat Ilmu
dan Teknologi. Jakarta: PT. RINEKA CIPTA
Soe, Soejono
Margono. 1986. Pengantar Filsafat Louis
O.Kattsoff. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Surajiyo.
2007. Filsafat Ilmu Dan Perkembanganya Di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Surajiyo.
2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Sumatriasumatri, Jujun S. 1988. Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Sinar Harapan
Suriasumantri,
Jujun S. 1996. Filsafat Ilmu : sebuah
pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Tafsir,
Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu.
Bandung: Remaja Rosdakarya
EmoticonEmoticon