Masyarakat Samin di Pati |
Siapakah masyarakat Samin itu?
Masyarakat Samin adalah masyarakat Jawa yang hidup dari bertani. Mereka tersebar di Blora, Kudus, Pati, Jawa Tengah. Masyarakat Samin memiliki kebudayaan yang unik dan sarat dengan pesan. Keunikan masyarakat Samin terletak pada perilaku mereka yang terkesan seenaknya sendiri dan agak nyleneh dibanding dengan perilaku masyarakat Jawa pada umumnya. Sikap nyleneh ini misalnya, selalu berpakaian hitam, tidak mengakui eksistensi negara dalam kehidupan mereka, tidak mau membayar pajak, tidak mau berdagang, dan tidak mau menyekolahkan anak mereka.
Sejarah masyarakat Samin
Samin Surosentiko (tengah) |
Sikap masyarakat Samin ini muncul dari pergerakan melawan Belanda yang dipimpin oleh Samin Surosentiko. Pergerakan Samin terjadi pada tahun 1890 di dua desa hutan kawasan Randublatung, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan atau di sekitar perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebagai gerakan yang cukup besar, Saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan Jati.
Menurut mereka untuk melawan Belanda yang sangat kuat, merupakan pekerjaan yang tidak mudah, mengingat kekuatan mereka tidak cukup kuat untuk menghadapi Belanda, maka satu-satunya cara yang bisa mereka gunakan adalah sikap diam dan berpura-pura gila. Sikap ini ternyata ampuh, karena Belanda selalu merasa kewalahan menghadapi orang-orang Samin yang "gila". Namun sikap ini ternyata membawa dampak pada tingkah laku dan pola komunikasi masyarakat Samin saat ini.
Berawal dari kondisi itulah muncul sikap masyarakat Samin yang seenaknya dan agak nyleneh. Sikap ini adalah sikap diam dan berpura-pura gila yang akhirnya menjadi gaya hidup masyarakat Samin. Selain menjadi gaya hidup, sikap masyarakat Samin ini membawa bengaruh dalam pengunaan bahasa dan pola komunikasi mereka.
Pola Pendidikan Masyarakat Samin
Jaman dahulu, masyarakat Samin tidak mau menyekolahkan anak mereka dengan alsan menentang kebijakan masyarakat Belanda. Namun, pada saat sekarang, mereka tetap tidak mau menyekolahkan anak-anak mereka dengan alasan agar budaya mereka tidak terpengaruh oleh budaya luar. Agar budaya Samin teteap lestari seperti leluhur mereka.
Lalu bagaimana merepa memperoleh ilmu pengetahuan? Cara berpikir masyarakat Samin sangat sederhana. Mereka hanya berpikir bagaimana cara hidup yang benar di mata Tuhan, maupun di hadapan manusia. Sehingga ajaran yang dipelajari juga bagaimana cara hidup bermasyarajat yang benar, tidak merugikan orang lai, tidak menyakiti orang lain, dan bagaimana cara agar bisa bertahan hidup.
Cara meraka belajar adalah dengan pitutur (secara lisan) tidak ada catatan tertulis yang harus dipelajari, juga tidak ada tulisan yang ditinggalkan dari pembelajarn mereka. Mereka menyampaikan pengalaman hidup sehari-hari dengan cara bercerita. Lalu siapa yang menjadi gurunya?
Masyarakat Samin di Pati memiliki seorang wanita yang bertugas layaknya seorang guru. Wanita setengah baya ini setiap sore mengumpulkan anak-anak Samin untuk diberi pitutur. Layaknya seorang guru, dia bisa memberi pelajaran dan menerangkan dengan baik kepada "siswa"nya. Dari pembelajaran ini, anak samin menjadi pandai, mengerti tata krama, memahami kebersamaan hidup dan saling menghormati. Sungguh cara belajar yang unik.
EmoticonEmoticon