Belajar Peduli dari Tukang Tambal Ban |
Pagi itu, seperti biasanya, saya berangkat kerja bersama Ibu yang kebetulan tempat kerjanya searah dengan tempat kerja saya. Kami menunggangi Lita, si motor bebek kesayangan. Setelah mengantar Ibu ke tempat kerjanya, saya pun menuju tempat kerja saya.
Tetapi, di tengah perjalanan, terasa si Lita oleng. Segera saya tepikan si Lita dan mengecek apakah ada masalah pada ban atau bagian lainnya. Saya lihat ban depan, tidak ada masalah, lalu saya tengok ban belakang, ternyata sudah kempes, kehabisan angin. “Bocor nih!”, pikir saya. Segera Saya cek lagi apakah ada paku yang menancap, ternyata tidak ada. Pikiran saya selanjutnya adalah mencari Tukang Tambal Ban.
Saya tengok kanan-kiri, tak tampak tanda-tanda keberadaan tukang tambal ban. Tak jauh dari situ, terlihat Ibu-ibu penjual Jamu. Coba Tanya ibu itu saja, siapa tahu dia tahu tempat tambal ban terdekat.
“Bu, menawi ibu ngertos tukang tambal ban cedhak mriki, Bu?”, tanyaku.
“Ooh, njenengan ngidul mriku Mas, sak derange rel Sepur, wonten tukang tambal ban”, sahut si Ibu penjual Jamu.
“Kinten-kinten tebih mboten nggih, Bu?”, tanyaku sekali lagi.
“Mboten Mas, paling 100 meter Mas”, jawabnya.
“Ooo, nggih, Bu, matur nuwun”, pungkasku.
Lalu, saya dorong si Lita ke arah tukang tambal ban yang ditunjukkan oleh Ibu-ibu penjual Jamu tadi. Sekitar 100 meter ku dorong si Lita, cukup ngos-ngosan juga, lumayan lah, anggap saja olahraga pagi. Sesampainya di tukang tambal ban, terlihat ada 4 orang yang bernasib seperti saya dan sedang antre menambalkan ban motor mereka.
Si Bapak tukang tambal ban terlihat kewalahan menambal 5 ban motor yang bocor karena dia harus bolak-balik dari motor satu ke motor lainnya. Melihat Bapak bukang tambal ban ini kewalahan, seorang pria paruh baya membangunkan seorang pemuda yang sedang tidur pulas.
“Tangi.. tangi.. kae diewangi bapak nambal ban, antrine akeh lho”, katanya setengah berteriak sambil menggoncang-goncangkan tubuh si pemuda itu.
Ternyata pemuda itu adalah anak dari Bapak tukang tambal ban. Tetapi, pemuda itu hanya merespon dengan menggerakkan tubuhnya dan tidak menghiraukan si pria paruh baya itu.
Sang bapak tukang tambal ban pun menyahut dengan setengah berteriak, “Iyoo, gek ndang tangi, mesakake bapak-bapak (yang bannya bocor) iki podo telat kerjo. Gek ditambal bane gen ora podo telat (kerja)”.
Mendengar kata-kata sang Bapak, pemuda itu langsung bangun, cuci muka, dan langsung membantu sang Ayah menambal ban. Setelah dibantu anaknya, Bapak penambal ban mulai menambal ban si Lita. Setelah 15 menit, ban si Lita sudah selesai ditambal dan ku lanjutkan perjalanan ke tempat kerja. Tapi tetap saja terlambat 17 menit.
Baca juga: Perumpamaan Tentang Ban Bocor
Belajar dari Tukang Tambal Ban
Dari pengalaman ban bocor ini, terutama dari kata-kata bapak penambal ban dan si anak, saya bisa belajar satu hal, yaitu belajar peduli kepada orang lain.
Bapak tukang tambal ban ini masih sempat memikirkan dan peduli kepada pelanggannya. Bapak tukang tambal ban ini mungkin merasa khawatir, bagaimana jika orang-orang yang bannya bocor ini terlambat masuk sekolah atau kantor dan dimarahi oleh atasannya.
Anak tukang tambal ban pun juga demikian. Mendengar ayahnya berkata bahwa banyak orang yang bannya bocor bisa terlambat masuk, ia pun segera bangun dari kenyamanan tidurnya dan segera membantu ayahnya.
Sejujurnya, saya tidak menyangka kalau bapak tambal ban dan anaknya memiliki rasa peduli yang besar kepada orang lain. Walaupun bentuk kepedulian mereka mungkin sederhana, yaitu menambal ban sesegera mungkin agar orang lain tidak terlambat kerja, tetapi hal ini sudah sangat langka.
Malu hati ini kepada tukang tambal ban. Bapak tambal ban dan anaknya yang begitu sederhana ini masih punya kepedulian yang lebih untuk orang lain.
Lalu, bagaimana dengan kita?
EmoticonEmoticon