Pernahkah kita merasa cukup belajar?

Belajar

"Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana" 
Amsal 90:12

Apakah seseorang pernah menanyakan pendidikan terakhir kamu? Atau apakah kamu pernah bertanya kepada seseorang tentang pendidikan terakhirnya? Bila pernah, apakah jawaban yang biasanya kamu katakan dan jawaban apa pula yang kamu dengar? Pada umumnya orang akan mengatakan pendidikan terakhirnya SD, SMP, SMA, atau S1. Bukankah jawaban itu juga yang sering kita ungkapkan dan kita dengar?

Jawaban umum semacam itu terdengar seperti jawaban yang tepat, namun sebenarnya menyempitkan makna pendidikan. Pendidikan disamakan dengan sekolah, padahal keduanya memiliki ruang lingkup yang berbeda. Sekolah identik dengan gedung, tuang kelas, buku, dan guru. Tanpa hal itu sekolah tidak dapat dikatakan sebagai sekolah. Lain halnya dengan pendidikan yang tidak selalu membutuhkan gedung, ruangan, maupun buku. Karena itu pengertian antara pendidikan dan sekolah tidak disamakan. Pernyataan yang tepat adalah sekolah merupakan salah satu perpanjangan tangan dari pendidikan.

Pendidikan tidak ada batasnya dan tidak ada akhirnya. Pendidikan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Pendidikan juga tidak membatasi usia seseorang. Pendidikan sudah dimulai sejak seseorang bernapas dan berakhir saat napasnya berhenti. Apakah mungkin seseorang bisa tamat dari pendidikannya? Jawabnya seharusnya tidak, kecuali tentunya bila orang itu "tamat" hidupnya.

Pendidikan atau pembelajaran tidak mungkin kelar karena pada hakikatnya pembelajaran itu sendiri adalah hidup untuk belajar (learning to be). Hidup untuk belajar tidak hanya menyerap dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Hidup untuk belajar juga tidak hanya mencetak prestasi dan kedudukan semata. Hidup untuk belajar artinya mampu mengeluarkan potensi dirinya dan membuat dirinya menjadi "nyata" bagi sesamanya. Sebagai konsekuensinya, hidup untuk belajar menuntut perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan yang tidak hanya menjadikan orang tersebut berubah, namun juga mampu merubah orang-orang disekitarnya.

Hanya orang-orang yang belajar terus dan terus belajar lah yang mampu mengenali potensi dirinya, sekaligus menjadikan potensi itu berguna bagi diri dan sesamanya. Karena itu, kita tidak boleh menjadikan kelulusan sebagai tujuan dan akhir dari pembelajaran. Akan ada banyak potensi terpendam bahkan hilang ketika kita berhenti belajar. Semakin banyak potensi yang terbuang, semakin minim "bahan" untuk membangun diri sendiri dan sesama. Lantas, apakah dampaknya?"kehancuran" menggerogoti perlahan seperti sekelompok rayap yang memakan sebatang kayu.

Jauh sebelum mengartikan hakikat pembelajaran, Allah sudah mengatakan melalui firman-Nya di dalam Amsal, " Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana". Artinya menghitung hari adalah memaknai hari. Memaknai hari mengharuskan seseorang untuk belajar, berbeda dengan melalui hari yang tidak perlu belajar. Tujuan memaknai hari adalah untuk memperoleh hati yang bijaksana. Hati yang bijaksana akan membuat seseorang berubah dan mampu merubah orang lain. Seseorang yang bisa memaknai harinya, merubah dirinya, dan merubah orang lain adalah mereka yangmau terus belajar di sepanjang hidupnya.

Pernahkah kita merasa cukup belajar? Atau pernahkah kita merasa terlalu banyak belajar? Jika kita seorang pembelajar sejati, maka kita tidak pernah ada kata cukup apalagi terlalu banyak untuk belajar terus dan terus belajar.

Not need to know.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »